Thursday, October 25, 2007

Kisah 'Pelarian' Para Ahli Dirgantara

Pada 2010, bukannya tak mungkin Malaysia menyalip Indonesia dalam teknologi aerospace. Jika ditanya siapa tangan dingin yang turut melepaslandaskan teknologi penerbangan negeri jiran itu? Jawabnya, dalam kadar tertentu, adalah putra-putra Indonesia. Dan, semuanya dimulai dengan rontoknya Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), kini PT Dirgantara Indonesia (PT DI).

PHK besar-besaran yang mendera IPTN beberapa tahun lalu, hingga menyisakan hanya 3.000-an karyawan, memicu brain-drain para eks pekerja IPTN ber-skill tinggi hijrah ke berbagai negara. Ada 20 orang eks-IPTN di Eropa, 10 orang di AS, 15 orang di Kanada, dan 15 orang di Korea. Jumlah yang cukup besar, yakni 35 orang, justru berada di Malaysia.

"Merekalah yang kini berkontribusi terhadap kemajuan teknologi aerospace Malaysia,'' kata Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Prof Said Djennie, beberapa waktu lalu. Said sendiri adalah guru besar tamu di Malaysian Institute of Aerospace Technology. Namun, ia menolak dikontrak 10 tahun bekerja di situ, dan hanya memilih sebagai visiting professor.

Tapi, inilah dilema bagi para 'anak-anak dirgantara' -- sebutan bagi para anak buah BJ Habibie semasa memimpin IPTN. Sebab, kata Said, jika para eks-IPTN ini disalahkan lantaran turut mengembangkan kedirgantaraan Malaysia, mereka pun patut bertanya, ''Kami bisa apa di sini (di Indonesia)?'' kata Said.

Permasalahannya ternyata bukan sekadar soal periuk nasi, tapi juga aktualisasi diri. ''We need food and also our intellectual. Bukan cuma (tubuh) kita yang membutuhkan makanan, intelektualitas kita juga memerlukan makanan. Kita butuh menciptakan karya-karya baru. Dan, Malaysia memberi kesempatan untuk itu,'' tutur Said.

Jika benar Malaysia akan lebih superior pada 2010, seperti dikatakan Said Djennie, ini bakal menjadi ironi. Sebab, pada Juni 1988 helikopter Super Puma pertama produksi IPTN justru diekspor ke Malaysia. Akankah kelak roda nasib berputar cepat: suatu saat giliran Malaysia yang mengekspor pesawatnya ke Indonesia?

Di tengah seretnya modal kerja, pesanan sebetulnya masih mengalir ke PT DI, antara lain, dari TNI dan beberapa customer luar negeri. Nah, salah satu proyek yang akan dihidupkan kembali setelah sempat mengalami mati suri' adalah proyek pesawat Nusantara (N)-250 yang sudah memasuki tahap prototipe.

Islamic Development Bank (IDB) digandeng untuk mendanai review N-250. Menghabiskan 200 ribu dolar AS, hasil review menunjukkan biaya operasional pesawat N-250 revisi (N-250-R) kelak bakal lebih murah 10-20 persen ketimbang pesawat sejenisnya. Pesawat komuter itu kelak akan digunakan untuk memasok pasar domestik. Selain itu, bakal ada sejumlah penyederhanaan sistem dan desainnya.

Proyek ini, menurut Said, digagas sejak masa pemerintahan Megawati. Usai pergantian pemerintah, Said, selaku ketua tim review, telah melaporkan kebutuhan dana pengembangan N-250-R yang ditaksir mencapai 120 juta euro. "Sayangnya belum ada respons dari pemerintah hingga detik ini. Padahal, program review ini pemerintah yang minta,'' ungkap dia.

Untungnya belakangan investor Arab Saudi mengaku tertarik mendanai proyek N-250-R. Hanya, mereka meminta syarat agar prototipe ini dites di AS. Said pun memanggil tim auditor dari AS. Laporan tim audit tersebut diterima sekitar 3 bulan lalu. Hasilnya? Mereka menyatakan bahwa status N-250-R sebagai very-very good realiable and visible. Menurut dia, penilaian tersebut membuat investor kaget.

Mereka pun kian serius. Saat ini proses negosiasi masih berlangsung, salah satunya membahas soal hak kekayaan intelektual produk N-250-R yang notabene milik Pemerintah Indonesia. "Sebab Arab Saudi nanti dapat apa? Ini yang sedang dibahas,'' ujar Said yang juga anggota dewan komisaris PT DI.

Soal kemampuan, kata Said, para insinyur-insinyur Indonesia tak perlu diragukan. Sedikit menoleh ke belakang, pada 1986 IPTN memperoleh kontrak 10 tahun dari General Dynamics untuk memproduksi 3.462 komponen air-frame dari F-16 (Fighting Falcon) senilai 57 juta dolar AS. Kontrak serupa diperoleh dari Airbus pada Desember 1989 setelah Garuda membeli sembilan unit A-330s.

Pada Maret 1987, IPTN meneken kontrak dengan Boeing untuk membuat 8.000 komponen air-frame Boeing 737, yang dilanjutkan dengan kontrak serupa pada Oktober 1988 senilai 30 juta dolar AS untuk Boeing 767. IPTN telah menjadi perusahaan subkontraktor tepercaya bagi pabrik pesawat terbang sipil terbesar di dunia itu.

Menurut Said, kemunduran yang didera IPTN memang tak bisa dilihat dari kacamata hitam putih. Sejak IPTN didirikan pada 1976, industri ini ditetapkan harus melewati empat tahap yang memakan waktu 20 tahunan atau lebih agar mereka mampu lepas landas dan kelak mandiri. Sayangnya, belum lagi tahap development IPTN rampung, krisis moneter keburu melanda Indonesia pada 1997.

Apakah PT IPTN, atau kini PT DI, sebuah industri yang menguntungkan? Francois Raillon dalam Indonesia 2000 menyatakan kita perlu hati-hati dalam mengukur industri pesawat terbang. Tak satu pun perusahaan dirgantara di dunia yang benar-benar untung jika mengacu pada kriteria accounting yang sempit. Dari 28 program aeronautic yang diluncurkan sejak 1945, hanya dua program yang menggangsir keuntungan yakni pesawat Boeing 707 dan Boeing 727.

Jika hanya menerapkan standar keuangan biasa untuk mengukur performa ekonomi industri pesawat terbang, itu bakal berujung pada irelevansi. Ada dua aspek yang patut diperhitungkan dalam perhitungan keuntungan industri ini, yakni aspek strategis dari industri high-tech dan trickle down effect teknologi pesawat terbang. (imy/republika)